Facebook

LightBlog

Breaking

LightBlog

Tuesday, May 16, 2017

#2 Irama Penuh Teka-Teki


Sukarto adalah satu dari beratus-ratus ribu pewaris kehidupan hilir yang akrab dengan langgam liris aliran sungai penuh teka-teki. Musim kemarau bukan hanya berarti tak seberapa air tersedia, seperti dilukiskan pada lagu legendaris ciptaan Gesang. Puncak musim kemarau baginya berarti terlalu berat untuk bertahan dalam rutinitas tepian Bengawan Solo.

Jika Mardi sedang berkelimpahan nasib baik, Sukarto bisa pergi bersama sepupunya itu menjadi bagian dari kafilah-kafilah musiman. Bermukim, biasanya berlima, selama 70 sampai 100 harian di bedeng darurat di tepi jalan raya, di pinggiran sawah padi yang berubah sesaat menjadi larik-larik tanaman timun suri, semangka, atau blewah. Terkadang tempatnya tak begitu jauh, hanya di tetangga kecamatan. Terkadang jauh di lain kabupaten.

Tapi, belakangan ini Mardi semakin kesulitan mendapat harga sewa yang layak. Peluang pasarnya memang bertambah besar, tapi persaingan pun semakin besar. Ia tak terlalu kuat bersaing dengan
kafilah-kafilah musiman lain yang punya perencanaan lebih bagus dengan modal yang lebih bagus pula. Tanpa rumus matematika yang rumit, Mardi bisa menghitung harga sewa terlalu besar mengiris harapan buat sekadar membawa pulang tambahan penyambung hidup sampai tiba musim tanam padi.

Jangan bayangkan musim tanam padi yang penuh sukacita dalam irama merdu mendayu. Tepian Bengawan Solo adalah sebuah irama dengan rentang oktaf yang tak terkira. Di musim hujan air bisa meluap sampai jauh dalam tempo cepat, bukan hanya mengejar kesigap-disiplinan petani kecil seperti Sukarto dan Mardi, tapi juga melumat tuntas  padi sebelum tiba waktu panen.

Sukarto sejenak melepas beban pikiran soal obrolannya pagi tadi bersama Mardi.
“Limolas ewu, Kang. Aku ora wani.”
[Lima ribu (lima belas juta), Kang. Aku tak berani.]

Mardi memulai obrolan tentang sesuau yang sebenarnya sudah sama-sama mereka ketahui itu di teras. Dua gelas putih bermotif timbul satu tangkai bunga warna ungu, masing-masing berada di atas tatakan dengan warna dan motif senada, mengepulkan asap kopi. Masing-masing tutupnya tergeletak terbalik, tersangga bulatan artistik di bagian atas yang kini menyentuh tikar pandan penutup amben tempat kedua lelaki itu bercengkerama. Di antara kedua gelas, beberapa pisang rebus tersaji di sebuah piring seng bermotif daun kelor warna hijau.

Tepat di belakang Mardi, kisi-kisi silinder kayu jati yang sudah menghitam berbaris dalam bingkai jendela. Sepasang daun pintunya tersibak. Suparto yang bersandar pada dinding bambu di sebelahnya sama-sama menghadap ke sepetak halaman tanah lempung yang mulai bercelah-celah di depannya. Satu pucuk tanaman terong tampak berjuang bertahan hidup dengan beberapa dahan lunglai mengering, dekat pokok randu yang menjulang setinggi enam meter.

“Lha, iyo, to. Nak semono modale, piro sing arep iso digowo mulih?”
[Lha, iya, toh. Kalau modalnya sebesar itu, berapa yang kita harap untuk bisa dibawa pulang.]
“Lha iyo, Kang. Senajan rego melon sak iki sakjane tambah apik.”
[Lha, iya, Kang. Sekalipun harga melon sekarang sebenarnya tambah bagus.]
“Wis ora usah dipikir nemen-nemen. Gusti Allah ora bakal kleru olehe ngatur rejeki, Di. Sing penting akas golek rejeki, ora ngoyo, triman ing pandum.”
[Sudahlah, tak usah terlalu dipikirkan. Gusti Allah tidak akan keliru mengatur rejeki, Di. Yang penting rajin cari rejeki. Tidak terlalu memaksakan. Ikhlas menerima rejeki-Nya.]
“Iyo, Kang. Sesuk awak dhewe sida budhal ring Kedungkunir, ya Kang?”
[Iya, Kang. Besok kita jadi berangkat ke Kedungpring, ya Kang?]
“Iyo, iyo. Insya Allah kasil.”
[Iya, iya, Insya Allah berhasil.”
“Amin, amin, amin.”

Matahari siang cukup terik menerpa. Tapi, hati Sukarto terasa sejuk menikmati keceriaan Jamilah, adik Samsul, yang kemarin pulang membawa sebuah tas ransel warna hijau-merah bergambar barbie. Mereka menonton pertunjukan seni tradisional Sandur, aksi akrobatik semacam debus di Banten, yang diiringi tari-tarian.Menurut cerita Samsul, semua anak yang kemarin datang ke festival dikumpulkan di sebuah tanah lapang dekat arena pertunjukan Sandur.

“Ono ibu kudhungan soko jonegoro andhum tas iki, Pak-e,” kata Samsul [Ada ibu berkerudung dari Kota Bojonegoro membagi tas ini, Ayah.].

Masing-masing dalam tas yang diterima Samsul dan Jamilah  berisi sebundel 12 buku tulis, satu kotak pensil berikit isi dua pensil, satu peraut pensil dan satu penggaris. Tas hitam Samsul bergambar hero Batman.

“Pak-e, aku wingi dik-poto mbak ayu jenenge Aisy.”
[Ayah, aku kemarin difoto mbak cantik bernama Aisy.]
“Ayu ndi mbek kowe, Nduk?”
[Cantik mana dengan kamu, Nak.?”
“Yo, ayu Mbak Aisy, to, Pak-e. Klambine iku lho anyar, kudhungan lurik-lurik. Pak-e, aku njuk tuku kudhung putih, yo.”
[Ya, lebih cantik Mbak Aisy, Ayah. Bajunya baru, berkerudung lurik-lurik. Ayah, belikan aku kerudung putih, ya.”
“Iyo, Nduk. Insya Allah, nggo sekolahmu.”
[Iya, Nak. Insya Allah, buat kamu sekolah.”

Jamilah setelah musim liburan tahun ini masuk Madrasah Ibtidaiyah Al-Anwar, menyusul Samsul yang akan naik ke kelas empat. Madrasah di kampung dhuwur berjarak enam ratusan meter dari rumah Suparto itu satu-satunya sekolah dasar di Desa Ngrakal. Sukarto menatap Jamilah yang berhambur ke luar rumah dengan senyum mengembang indah.

Bagi Sukarto, senyum Jamilah, tindak-tanduk Samsul, ketabahan dan kesabaran Musri, isterinya, celoteh kenes Musanah yang baru berusia tiga tahun, dan segala ketenteraman dalam rumah bilik bambunya adalah harta yang tak terkirakan Semua itu selalu menjadi kekuatan yang tak pernah bisa dihitung oleh rumus kemiskinan dalam data statistik. Kekuatan yang lentur menyerap arus ketidakpastian pasang-surut irama Bengawan Solo.

Kerudung buat Jamilah dan baju-baju seragamnya, juga baju-baju seragam pengganti buat Samsul yang tubuhnya sudah mekar tak tertampung lagi oleh baju-baju lama, walaupun masih cukup bersih terawat...  Sukarto berusaha menghitung tiga ekor ayam pejantan di kandang belakang rumah yang sudah bisa ditawarkan ke Pak Dulah. Fitri, putri sulung Pak Dulah yang baru tamat SMA, bulan Syawal akan dipersunting Mamad, perantau yang sudah lumayan sukses mengelola empat tenda pecel lele bersama ketiga adiknya di Jakarta. Harga tiga ekor ayam itu sepertinya sudah cukup untuk dua setel baju seragam buat Jamilah dan Samsul. Masing-masing kurang kurang satu setel. Tak apa-apa. Mugo-mugo Kedungkunir....

Belum tuntas lamunan Sukarto, suara nyaring Jamilah mengagetkannya.
“Pak-e, Pak-e, ono Mbak Aisy!”
[Ayah, ayah, ada Mbak Aisy!”
“Aisy sopo toh, Nduk?”
[Aisy siapa, Nak?”
“Iku, sing moto aku.”
[Itu, yang memotret aku.]
“Assalamu’alaikum .”
“Wa’alaikum salam,”  Sukarto dengan penuh tanda tanya menjawab salam Ustadz Hamid yang berjalan ke arahnya, ditemani istrinya, Bu Dewi, dan seorang perempuan muda kira-kira enam atau tujuh tahunan di atas usia Fitri.

“Pak Sukarto, meniko Mbak Aisy saking Jonegoro. Piyambak-e  nggadah maksud silaturahim kaleh Pak Sukarto.”
[Pak Sukarto, ini Mbak Aisy dari Bojonegoro. Dia bermaksud silaturahim ke Pak Sukarto.]
“Monggo, monggo, pinarak mlebet. Ngapunten gubuke tiyang ndeso nggih kados mekaten. Sri.... Musri.....”
[Silakan, silakan masuk. Mohon maaf, gubuk orang desa ya seperti ini. Sri.... Musrii....]

Sukarto kikuk mempersilakan para tetamu menuju kursi-kursi berangka kayu jati dengan alas duduk rotan yang sebagian anyamannya putus di sani-sini, menyembulkan ujung-ujung anyaman seperti batang ilalang kering. Pak Hamid adalah ketua pengurus Madrasah Al-Anwar, tempat sekolah Samsul.

Musri tergopoh-gopoh memenuhi panggilan suaminya ke luar menuju ruang tamu, mengenakan kebaya cokelat tua bermotif kembang-kembang dan penutup kepala kuning muda polos. Ia menyalami dengan takzim Bu Dewi yang tampak anggun dengan jubah khaki dan jilbab cokelat tua, dan Aisy yang mengenakan celana panjang abu-abu tua, blus biru donker dan jilbab modis putih bergaris-garis zebra warna hitam.
***

Aisy menutup file-file berisi catatan hasil perburuan saat menyiapkan proposal yang kini sudah ada di tangan Wawan. Sebagian besar isi catatan itu tentu saja tidak masuk dalam proposal. Sebagian menjadi pemikat istimewa ribuan pengunjung blog-nya dalam dua pekan terakhir. Tapi, mayoritas komentar malah tertuju pada “maklumat”-nya tentang kepergian selama beberapa hari ke Jakarta. Mereka mendoakan, menyemangati, dan.... “Mbak Aisy, tunggu, ya. Saya akan ambil oleh-olehnya di rumah.” Aisy terkikik.

Emang kamu tahu, kapan aku pulang? Traveler, traveler... masbro. Kehebatan traveler terletak pada jadwal dan tempatnya yang tak bisa ditebak orang lain.

Dibukanya lagi file powerpoint, yang sangat rapi dibuatkan Agus, kakak semata wayang yang sering menyebalkan dengan watak serius dan cueknya, tapi juga sering menyenangkan, terutama dalam urusan beginian. Entah belajar dari mana, sarjana peternakan, kini asyik dengan toko dan sanggar batik tradisional bersama 17 pekerja, termasuk tiga seniman batik, bisa melengkapi slide-slide powerpoint dengan diagram-diagram artistik yang dibuat dengan Photoshop.

Kalau dipikir-pikir, Mas Agus itu memang pinter. Masalahnya, aku lebih sering males mikir tentang dia. Apa dia pinter karena dia belum punya pacar? Upps... bisa kualat.

Aisy meralat jelajah pikirannya yang ngelantur. Bagaimanapun, Agus adalah kakak yang istimewa. Cuma nyambung kalau dipancing dengan diskusi soal-soal berat macam demografi, era keterbukaan informasi, kualitas pendidikan. Tak banyak yang bisa dibawa ke blog, memang. Begitu Aisy mulai pasang kosakata sejenis “kondisi sosio-ekonomi”, ada saja komentar tamu blog, yang minta jangan berat-berat.

Diam-diam Aisy mengakui betapa besar artinya Agus sebagai sosok pengganti almarhum ayah. Mas Agus-lah yang membuat belanja bukunya kini nyaris seimbang antara novel dan buku-buku non-fiksi popular. Buku-buku yang jauh urusannya dari matakuliah akunting dan perencanaan bisnis. Benar-benar terbalik, kata ibunya. Aguslah yang kini jutru menikmati passion wirausaha.

Walau selalu terbersit segaris goresan rasa gelisah di sudut wajah setiap kali ia berpamitan kepadanya, Aisy selalu berhasil meluluhkan hati sang ibu, yang mendekati masa purnabakti di Dinas Perencanaan. Doa dan wanti-wanti agar tak lupa beribadah, lalu Aisy selalu menyertai pelukan dengan ungkapan kepatuhan yang menenteramkan, “Njih, Bu. Dungak-aken Gusti Allah paringi lancar lan ridho.” [Ya, Bu. Doakan Gusti Allah memberi kelancaran dan ridho.] Dan, ibunya selalu tercekat beberapa detik dalam rasa haru, berjuang sekuat tenaga menahan bulir bening jauh dari kedua kelopak matanya. Tidak. Bukan kecemasan. Tapi, lebih karena kedalaman, kematangan dan ketulusan nada dan kata-kata Aisy yang memberi rasa aman di hati.

Aisy cukup puas dengan ringkasan dalam file powerpoint buatan Agus. Sangat memudahkan buat presentasi besok. Dan, untuk lebih meyakinkan perasaan kesiapannya, klik. Tombol power laptop ditekan dan layar monitor berangsur-angsur menghitam. Sekarang saatnya mandi.

Penginapan ini memang bukan kamar hotel. Tapi, sangat nyaman. Dia buka pelan-pelan pintu kamar mandi. Sangat bersih. Kepala keran shower yang mengkilap menunduk ke arah lantai keramik marun, senada dengan warna kloset duduk. Satu handuk tebal putih terlipat di rak di atas wastafel. Dalam posisi menyiku terhadap wastafel, sejajar dengan pintu, satu set gantungan baju tertempel di tembok.

Aisy keluar lagi ke samping tempat tidur double berbalut bedcover warna putih yang lipatan ujung atasnya masih kencang tersangkut ke kedua sisi bawah matras. Bekas duduknya saat membuka laptop tadi terlihat di atas bedcover.

Rebahan lagi? Tidak. Sore ini mandi, berdandan dan wangi. Sudah semestinya begitu seorang profesional. Nanti malam akan kubuktikan apa pempek di Pasar Minggu sehebat kata teman-teman. Mandi, mandi, mandi.
_.o0o._

No comments:

Post a Comment

Adbox