Facebook

LightBlog

Breaking

LightBlog

Monday, May 15, 2017

Trik Menulis Opini di Media Massa

Menulis artikel opini yang bisa tampil di media massa, skala nasional maupun lokal, itu nikmat. Umumnya, kenikmatan itu lebih bersifat non-material ketimbang material. Cukup terasa nendang barangkali buat anak kos tertentu, tapi honorarium tulisan di suratkabar tak bakal bikin penulisnya kaya raya seperti tukang bubur yang bisa naik haji. Salah satu kenikmatan non-materialnya adalah sebuah pengakuan, bahwa isi pikiran pantas diketahui (dibaca) khalayak.

Masalahnya, ruang opini di media massa sangatlah terbatas. Satu suratkabar dalam satu hari rata-rata hanya memuat dua atau tiga artikel opini. Jadi, kompetisinya memang ketat. Selain itu, media massa memerlukan portofolio kepakaran atau otoritas keahlian tertentu sebagai pertimbangan memuat atau tidak sebuah opini. Tapi, itu  tidak mutlak? Media besar nasional juga sangat terbiasa menampilkan tulisan-tulisan menarik dari penulis tidak ternama.

Lalu, apa kriterianya? Soal kriteria opini di media massa sebetulnya sudah tersedia berton-ton tulisan yang mengulasnya. Silakan menghadap ke Mbah Google. Tapi tak apa, sekadar buat diingat-ingat saya uraikan sekilas empat hal yang paling pokok berikut ini:

Aktualitas.

Sedapat mungkin opini memiliki cantelan berita (newspeg) yang sedang ramai atau hangat. Akan lebih afdhol kalau opini sudah disiapkan untuk suatu momen tertentu yang sudah bisa diantisipasi, misalnya Hari Ibu, Hari Pendidikan Nasional, Awal Puasa dan lain-lain. Atau, jika kita punya sebuah gagasan yang sudah sangat matang, namun tidak punya newspeg yang kuat, simpanlah baik-baik. Suatu saat ketika terjadi peristiwa besar yang terkait dengan opini kita, maka cantelan berita itu tinggal dibubuhkan di bagian awal tulisan.

Magnitude

Opini berhubungan dengan masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Kualitas isi

Masalah kualitas ini mencakup antara lain kepatuhan pada kaidah tatabahasa, sistematis (runtut), punya daya tarik, logis, kredibel dan seterusnya). Kredibel artinya memiliki basis kajian keilmuwan yang kuat, atau informasi yang ditampilkan berdasarkan sumber-sumber terpercaya. Poin ketiga ini, meminjam istilah Thukul Arwana, lebih banyak berhubungan dengan urusan flying watch atau  jam terbang, maksudnya . Semakin sering menulis, akan kian lancar memenuhi kriteria ini.

Orisinalitas

Tentu saja, redaktur opini media massa akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak kecolongan tulisan plagiat.

OK, keempat kriteria itu mestinya sudah bukan hal yang asing lagi, karena sangat sering dibahas orang.  Tapi, dalam tulisan ini, saya ingin membahas lebih khusus tentang trik mendisiplinkan diri saat menulis, agar tidak terbawa arus kepada hal-hal yang tidak relevan dengan ide pokok yang ada dalam pikiran kita. Sebab, sering ketidakdisiplinan membuat tulisan kita terlalu melebar, tidak fokus, dan akibatnya menjadi tidak terlihat utuh, sekalipun di dalamnya terdapat sesuatu yang bernilai sangat tinggi.

Saya akan memberi sebuah contoh dengan ilustrasi dalam gambar di bawah ini. Misalnya, kita ditantang saat ini untuk menulis tentang PASAR TRADISIONAL. Secara refleks alamiah, di dalam otak kita akan segera berdesak-desakan puluhan, mungkin ratusan hal yang terkait dengan PASAR TRADISIONAL dalam bentuk kata atau frasa.

Baik, sebelum membahas lebih jauh, saya berikan alasan kenapa saya pilih contoh PASAR TRADISIONAL. Pertama, saya anggap mayoritas pembaca sudah sering pergi ke pasar tradisional, kecuali bapak-bapak yang malas mengantar isteri berbelanja ke pasar tradisional. Itu artinya, “isu” PASAR TRADISIONAL memiliki potensi orisinalitas yang besar, karena pengalaman orang berbeda-beda. Kedua, jika ngeh, kita tahu pasar tradisional beberapa hari lagi akan menjadi topik pembicaraan hangat banyak orang, menjelang bulan Ramadhan. Berarti aktual. Ketiga, jika beruntung menemukan sudut amatan (angle) yang tepat, kita bisa mengajukan kritik brilian kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Berarti magnitude-nya besar, kan? Keempat, karena saya ingin makan lontong sayur pakis Padang. OK, yang keempat lupakan.

Kata-kata atau frasa yang ada dalam gambar itu tentu saja tidak mewakili isi pikiran semua orang. Tapi, sangat mungkin itu muncul. Misalnya, kita teringat debat kusir disertai saling lempar link tentang isu penimbulan gula di Facebook. Atau, kita jadi teringat paparan berbusa-busa pakar ekonomi tentang persaingan tak seimbang antara pasar tradisional dan toko swalayan. Atau, kita teringat berita lama tentang impor ikan lele, bawang putih dan garam. Dan lain-lain, yang sebenarnya bukan muncul secara orisinal dari pikiran kita. Jika kita memulai penuangan ide dari hal-hal yang “jauh” itu, maka sangat mungkin tulisan kita akan terseret arus ke tempat yang tidak kita kenal. Akibatnya, tulisan kita menjadi kabur, tidak runtut dan membingungkan.

Coba, misalnya, berangkatlah dari pengalaman tadi belanja ke kios beras Pak Haji Mail. Lalu meneruskan ke kios di depannya, beli bumbu siap cemplung terkenal buatan Koh Li Peg. Wow, kelakar-kelakar akrab Pak Haji Mail dan Koh Li Peg pasti menjadi ilustrasi yang seksi dan sangat kekinian untuk sebuah opini yang menarik. Atau coba zoom in ingatan kita saat tidak tega menawar sayur labu yang dijual seorang kakek di lapak non-kios.

Yang ingin saya sampaikan dengan contoh-contoh di atas adalah, jangan meremehkan sudut pandang orisinal yang kita dapatkan. Dari sudut pandang orisinal itu, kita bisa mengembangkannya menjadi bagian-bagian yang menarik (silakan baca tulisan sebelumnya tentang mengembangkan ide penulisan). Jika disiplin dengan jalur ini, maka kita menjadi lebih mudah untuk tertib, baik dalam hal memilah-milih dan memasukkan bagian-bagian yang relevan, maupun saat melakukan riset untuk penguatan opini.

Proses pendisiplinan itu, sebagai satu contoh, kurang lebih akan terlihat seperti infografis di bawah ini.

Dalam contoh di atas, topik PASAR TRADISIONAL dikerucutkan melalui pengamatan atas penjual bumbu siap pakai. Pengerucutan ini bisa mengarah kepada pembahasan tentang harmoni masyarakat, misalnya. Namun, jika mengikuti pola pengembangan ide seperti pada artikel sebelumnya, tema PASAR TRADISIONAL sebetulnya bisa dituangkan dalam bermacam-macam kalimat pertama, tergantung sisi mana yang ingin kita tampilkan sebagai inti persoalan. Bisa tentang posisi pasar tradisional dalam dinamika ekonomi masyarakat di era toko swalayan. Bisa tentang representasi harmoni kultural  di pasar tradisional. Bisa tentang daya tahan ekonomi para pedagang tradisional. Apa saja, yang penting dekat dengan daya jangkau pengetahuan dan minat kita. Pilihan-pilihan sudut pandang ini akan menentukan sekaligus membantu kita dalam melakukan riset untuk mendapatkan bahan-bahan informasi pendukung opini.

Namun perlu diingat, dalam menulis opini, kalimat penunjuk pada newspeg tidak boleh terlalu lambat muncul. Sebisa mungkin sebelum akhir paragraf kedua. Sehingga pembaca tak akan segera berlalu dari tulisan kita.

Sekali lagi, kedisiplinan mengurai ide, tanpa terbawa arus hal-hal yang jauh dan tak terjangkau oleh pengetahuan serta minat kita. Maka, proses akan menjaga sekaligus mengarahkan orisinalitas sudut pandang kita kepada sesuatu yang menarik. Sehingga artikel opini yang kita tulis pun pantas dibaca orang lain. Selamat mencoba.

1 comment:

  1. Winginane Tere Liye pas nik Aula Pondok yo ngomong bab sudut pandang...angle angle angle...suwun....

    ReplyDelete

Adbox