Facebook

LightBlog

Breaking

LightBlog

Saturday, May 13, 2017

Laura Ingalls, Novel Pertama di Usia 60-an Tahun

Banyak pengarang memberi motivasi “Tidak ada kata terlambat untuk mengarang.”

‘Iya, sih,... mungkin demikian sebagian di antara kita akan merespons, ...tapi kalau lihat anak-anak SD atau SMP sudah punya karya yang diterbitkan penerbit terkenal macam Mizan, malulah kita, sudah punya anak SD dan SMP belum pernah menulis.’

Sepertinya apologi itu benar, dan seakan-akan membenarkan, bahkan memperkuat asumsi bahwa menulis itu persoalan bakat yang tak bisa diganggu-gugat. Silakan, terus dipegang erat-erat kesimpulan itu. Penerbit Mizan sudah menerbitkan puluhan, mungkin ratusan (saya belum mencari angka pastinya) buku karya anak-anak belia dalam bendera Kecil-kecil Punya Karya (KKPK). Itu alasan yang sudah lebih dari cukup untuk menolak motivasi yang tertulis di awal tulisan ini.
Tidak apa-apa. Saya pun mungkin tidak punya argumentasi yang bisa mengalahkan kesimpulan itu. Tulisan ini hanya catatan kecil tentang kenangan di masa kecil. Hanya kenangan biasa yang tidak eksklusif. Siapa saja yang seusia dengan saya sangat mungkin mengalami hal yang sama.
Semasa SD sampai SMP, saya suka “bertandang” ke rumah orang yang punya televisi di Hari Minggu. Terkadang harus berjalan sampai satu setengah kilometer, tergantung televisi mana yang tersedia, menyala dengan energi aki (akumulator). Untuk menonton rangkaian siaran stasiun televisi tunggal, TVRI.



SCREENSHOT WEBSITE RESMI LITTLE HOUSE ON THE PRAIRIE

Sasaran kesukaan saya adalah acara Album Minggu dan Film Minggu Siang,  yang biasanya menayangkan film laga selain beberapa serial yang terkenal seperti Land of Giants. Sesekali Dari Gelanggang ke Gelanggang bisa memikat perhatian saya dengan penuh minat. Yang paling menyebalkan untuk anak-anak seperti saya adalah acara talk show. Rasanya seperti berabad-abad menunggu acara seperti itu.

Nah, kalau aksi safari Minggu saya dimulai cukup pagi, saya biasanya kebagian nonton serial film anak-anak. Scene introduksinya seorang gadis kecil jatuh bangun berlarian di rerumputan bersama anjing lucu. Saya tidak peduli pada deretan huruf italik besar yang kemudian membelakangi scene itu. (Ternyata itu judulnya).

Terus terang, saya juga tidak terlalu mengerti jalan cerita film serial itu. Maklum, model  subtitle film jaman dulu sangat panjang, terlalu wordy untuk  bisa diikuti anak kampung seperti saya. Jadi, saya hanya menikmati keindahan desa dan rumah-rumah dalam film itu, dan ekspresi senyum dalam percakapan ramah anak-anak, kakak beradik, teman-temannya, ibu, ayah, tetangga, guru, dokter dan lain-lain.

Berpuluh-puluh tahun kemudian, saya baru tahu kalau Little House on the Prairie itu adalah serial tentang hidup seorang pengarang besar, Laura Elizabeth Ingalls Wilder (1867-1957). Silakan, kalau tertarik, berselancar di Internet, banyak yang menulis tentangnya. Saya hanya ingin menukil sekilas saja, bahwa materi kepengarangan Laura Ingalls bersumber dan terdorong oleh keterpaksaan dalam perjalanan hidupnya yang sangat berat di masa sebelum dan sesudah Depresi Besar dekade 1930-an.

Laura, yang masa kecilnya biasa disapa Bess (Elizabeth), melewati beberapa bidang karier, dimulai dari guru (dia mengaku sebenarnya tidak suka jadi guru). Belakangan, dengan kepandaiannya sebagai bertani dan berternak, dia kerap diundang menjadi pembicara berbagi ilmu. Suatu hari di tahun 1911 (di usia 44 tahun), dia diundang menulis artikel di koran Missouri Ruralist. Ternyata tulisannya dianggap menarik, dan dia pun didapuk menjadi editor-kolumnis. Dia jalani pekerjaan itu sampai sekitar pertengahan dekade 1920-an.

Dalam kurun waktu setengah dekade kemudian, dia seperti menemukan cintanya pada dunia kepengarangan. Dia terus menulis, mengasah kemampuannya bertutur. Di tahun 1929-1930, atau sudah memasuki usia kepala enam, dia mulai menulis otobiografi. Tahu apa yang terjadi? Biografi dengan berjudul The Pioneer Girl itu terus mental, ditolak penerbit. Baru pada tahun 2014, atau 57 tahun setelah kematiannya, otobiografi itu diterbitkan oleh South Dakota State Historical Society dalam versi anotasi berjudul The Pioneer Giril: An Annotated Biography.

Laura menerima royalti pada tahun 1932 (usia 65 tahun) dari novel pertama yang berhasil diterbitkan, Little House in the Big Woods. Harper & Brothers, penerbit, memberinya cek $500. Itulah royalti pertama dan paling kecil yang pernah diterima Laura. Tentu saja untuk masa itu, jumlah tersebut amat sangat besar. Kalau disetarakan dengan masa sekarang, kira-kira sama dengan $8.780 (lebih dari Rp. 117 juta). Sejak itu, novel-novel Laura (tujuh novel plus biografi anotasi) terus mengalir di mesin-mesin percetakan di seluruh dunia, diterjemahkan ke lebih dari 40 bahasa.

Rasanya, saya tidak bisa menyusun kesimpulan yang bagus untuk kisah tentang Laura Ingalls. Paling-paling begini: kalau kita merasa sebagai orang yang palin merana-menderita-sengara di seluruh dunia, berarti kita menganggap diri punya modal untuk menjadi pengarang paling terkenal di dunia. Berlebihan, ya? Yah, sekurang-kurangnya kisah Laura bisa jadi cermin untuk tidak terlalu kaku menghukum diri sebagai orang yang tidak berbakat menulis.

Tapi, tentu saja nasihat bijak di bagian awal tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyetujui perasaan “Hari ini belum siap mengarang.” Sebab, kesiapan untuk mengarang bukanlah sesuatu yang bisa dipilih waktunya.

2 comments:

  1. Nginiki dadi kudu nulis novel. Cerpen wes, puisi wes, reportase wes, essay wes, piye disik disikan tho...ge motivasi....

    ReplyDelete

Adbox