Facebook

LightBlog

Breaking

LightBlog

Friday, May 5, 2017

5 Hambatan Terbesar dalam Mengarang

[CATATAN: Sebelum lanjut membahas materi paragraphing sebagai lanjutan dari dua tulisan terdahulu tentang cara efektif mengembangkan ide penulisan, kita selingi dulu dengan satu artikel tentang mengatasi hambatan-hambatan terbesar dalam mengarang.]

 


Saya cukup terkesima ketika iseng-iseng membuka satu dua situs layanan freelance online job. Rasa-rasanya setiap detik muncul iklan baru mencari penulis atau pengarang. Ya, di seluruh dunia ada jutaan orang punya blog atau website, tapi banyak dari mereka tak bisa mengisi sendiri blog atau situsnya.

Mereka butuh penulis atau pengarang freelance agar blog atau website mereka lancar terisi. Sebab, keteraturan pengisian atau posting ibarat nyawa penggerak agar blog atau website bisa menjadi mesin penambang uang dari iklan.

Walau sudah lebih dari tujuh tahun bekerja menjadi penulis lepas dan penerjemah buku lepas, saya belum pernah sekalipun terpakai dalam online job seperti itu. Maklum, saya terbilang spesies purba yang kurang gesit mengikuti kecepatan gerak abad teknologi informasi.

Kembali ke soal pengarang atau penulis. Fenomena banyaknya lowongan penulis online itu  paradoks. Dalam pendidikan atau persekolahan di seluruh dunia, isi kegiatan terbanyaknya adalah mendengarkan, membaca, menulis dan berbicara.

Tapi faktanya, pendidikan atau sekolah tidak membuat pesertanya otomatis menjadi pendengar, pembaca, penulis dan pembiar ayang baik. Bahkan untuk masalah yang sudah mereka tekuni selama bertahun-tahun. Jadi, pasti ada suatu masalah dalam persekolahan.

OK, blog ini bukan untuk diskusi soal persekolahan atau pendidikan, dan artikel ini hanya sebuah ajakan mengenali apa, sih, sebetulnya penghambat terbesar dalam mengarang. Nah, kalau kelima hambatan terbesar ini bisa dikalahkan, maka mestinya mengarang itu seleluasa anak usia dini yang sudah mulai lancar berbicara untuk mengungkapkan atau mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya.Itu dari sisi keleluasaan kemauannya. Namun, dari sisi kemampuan tentu saja kita sudah tidak lagi menghadapi kendalah bahasa dan berbahasa (language and language speech).

Karena kita bukan anak usia dini lagi, maka mestinya saat kita mengarang, karangan kita tak terkirakan banyaknya. Kenapa begitu? Sebab, mengarang adalah menuangkan isi pikiran dan perasaan yang kita sendiri pemiliknya.

Isi pikiran dan perasaan bisa berupa pengetahuan yang sudah kita pelajari. Bisa juga, pemahaman yang kita serap dan kita bangun dari membaca buku. Atau, pemahaman yang kita susun dari melihat keadaan, peristiwa, termasuk apa yang kita rasakan. Bahkan, hanya angan-angan tentang sebuah rumah mungil di dekat sungai jernih, dikelilingi aneka tanaman kolam ikan dan kandang ternak, adalah "bahan" yang tidak pernah habis untuk dituangkan dalam mengarang.

Tapi, apa yang terjadi? Semua "bahan" itu tumpas sebelum muncul, apalagi tumbuh, ketika kita DISURUH mengarang. Sengaja saya memakai huruf kapital untuk kata "disuruh". Soalnya, dengan DISURUH, mengarang menjadi tidak bebas-leluasa lagi karena tidak digerakkan oleh dorongan dari dalam diri kita.

Itulah hambatan pertama:

#1 Paksaan Faktor Eksternal

Ada banyak sekali faktor eksternal yang "memaksakan" agar karangan kita mengikuti ketentuan-ketentuan faktor eksternal itu. Bukan kebetulan bahwa dalam pengalaman saya menjadi fasilitator pelatihan penulisan, semakin rendah jenjang pendidikan semakin tinggi spontanitas kepengarangannya. Ini disebabkan semakin tinggi jenjang pendidikan semakin banyak faktor eksternal yang menyusup ke alam bawah sadar, sehingga semakin banyak pertimbangan dan alasan untuk tidak mengarang saja.

Mari kenali sebagian faktor eksternal yang umum berlaku. Pertama, pelajaran mengarang. Sewaktu kita menerima dan membiarkan diri kita menjadi peserta pelajaran mengarang, maka pertama-tama yang segera muncul sebelum kita menulis satu huruf pun adalah bayangan tentang Guru Bahasa Indonesia, tatabahasa, dan ponten yang akan kita dapatkan. Ini berlaku juga dalam banyak pelatihan penulisan. Ibaratnya, kalau kita mengarang dengan menggunakan alat tulis berupa pensil, semua hal itu menjadi besi pemberat yang terikat kencang ke pensil yang sedang kita gunakan.

Bagaimana cara mengatasinya? Ya lupakan saja semua itu sebelum kita mengambil alat tulis atau komputer untuk memulai mengarang. Biarkan isi pikiran atau perasaan kita tumpah tanpa khawatir soal penilai guru atau tutor, tentang tatabahasa, tentang penilaian orang pada karangan kita.
Kalau tidak bisa melupakan, berarti kita memiliki hambatan terbesar kedua:

#2 Kerelaan Mengikuti Paksaan Faktor Eksternal

Ini sudah masuk ke kategori faktor internal yang kita hadapi sebagai penghambat dalam mengarang. Dalam keadaan seperti ini, kita membiarkan ketentuan-ketentuan faktor eksternal berkuasa atas penuangan ide, pikiran, perasaan ke dalam karangan kita.

Bukan hanya membatasi karangan kita, ketentuan-ketentuan faktor eksternal itu dalam banyak kasus membuat kita bahkan tidak pernah mulai mengarang sama sekali. Tidak ada orang lain yang bisa membantu untuk mengalahkan hambatan internal ini selain diri kita. Kita tidak membutuhkan guru, tutor, pembimbing, pelatih, konsultan.... apapun namanya untuk mengatasi hambatan internal ini.
Bagaimana cara mengatasinya? Katakan pada diri sendiri: "Saya sedang mengarang. Saya sedang menuangkan isi pikiran atau perasaan saya sendiri. Bukan mengerjakan pesanan orang lain yang tidak mengerti isi pikiran atau perasaan saya."

Cobalah lakukan hal sederhana berikut ini:
Di pagi hari setelah bangun tidur, atau setelah shalat subuh, rekatkan kedua telapak tangan, selang selingkan jemari tangan kanan dan kiri, kemudian tangkupkan jemari, dan buka kembali telapak tangan. Perhatikan beberapa detik, lalu balik dan perhatikan punggungnya selama beberapa detik. Sekarang, mulai tulis tentang kedua tangan berikut jemarinya sebanyak mungkin yang kita tahu dan kita rasakan. Jika diperlukan, misalnya untuk mengetahui anatomi, ruas-ruas tulang, urat-urat nadi, otot-otot, fungsi fungsi dan lain-lain, tanya sama Mbah Google. Terus tuliskan sebanyak mungkin. Lalu, ceritakan apa saja yang kita ingat selama sehari sebelumnya yang berkaitan dengan jemari dan tangan kita. Dan, katakan apa yang ingin kita katakan kepada Allah yang menciptakan tangan dan jemari kita.

Saya yakin seandainya ada sepuluh orang yang sudi menulis untuk blog saya ini, maka saya punya sepuluh tulisan menarik dan unik tentang tangan dan jemari. Dengan penuh kebahagiaan saya akan muat tulisan-tulisan itu di blog saya, dan dengan rasa terimakasih yang tak terkirakan.

Intinya, yang ingin saya sampaikan dari poin ini, mengarang adalah menuangkan sesuatu yang bersumber dari pikiran dan perasaan kita, sesuatu yang terjangkau dan dekat dengan diri kita, dan karena itu selalu eksklusif serta unik. Dan, tentu saja, sesuatu yang sangat dekat dengan kita, dan kita sangat mengenal, pasti bukan hanya tangan dan jemari saja. Ambil satu, uraikan satu-satu bagiannya, jelaskan pelan-pelan.

#3 Perasaan Takut Salah

Penghambat terbesar ketiga adalah rasa takut salah. Kalau kita setuju bahwa mengarang adalah menuangkan sesuatu dari pikiran dan perasaan kita, maka sesungguhnya yang kita hasilkan adalah sesuatu yang punya dasar: kita melihat, membaca, mendengar, mengalami, merasakan, berpikir, merenung, mengkhayal dan lain-lain.

Selama kita menyadari bahwa karangan kita adalah pandangan pribadi yang punya "dasar-dasar otentik" sebagaimana saya sebutkan di atas, maka mestinya tidak ada perasaan takut salah yang menghadang kita untuk memulai mengarang.

Mungkin ada yang bertanya, "tapi, kan, karangan kita akan dibaca orang?" Nah, itu adalah bagian lanjut dari proses mengarang yang masuk ke dalam kategori urusan teknis. Problemnya, yang sering terjadi urusan teknis, sudah datang terlebih dulu mengganggu sebelum sepotong pun isi pikiran kita tertuang.

Urusan teknis itu sejenis memilih judul yang baik; ejaan yang benar; tatabahasa yang benar; komposisi dan susunan paragraf yang baik dan benar; menambahkan unsur pemikat; cara memikat pembaca di paragraf pertama; dan banyak lagi yang lainnya termasuk menghindari kesalahan. Sudah pasti, semua itu kita butuhkan saat kita mempublikasikan karangan. Tapi, itu nanti, setelah kita lancar mengarang layaknya refleks berbicara.

Lagi pula, proses-proses yang saya sebutkan di atas, yaitu melihat, membaca, mendengar, merasakan dan seterusnya pada hakikatnya proses yang akan terakumulasi menjadi pembelajaran sepanjang hidup kita. Sehingga, sesungguhnya setiap kita memiliki mekanisme otomatis untuk menghindari kesalahan, memperbaiki kesalahan, melakukan kebaikan, memperbaiki kebaikan dan seterusnya. Itu proses alamiah manusia.

Ini belum bicara tentang prestasi akademik istimewa, bahkan otoritas keahlian atau spesialisasi yang dicapai melalui jalur pendidikan formal tertentu. Mestinya lebih hebat lagi karangannya. Mungkin (ini hanya dugaan sumir) rasa takut salah dipupuk oleh pengalaman yang ditumpuk bertahun-tahun di sekolah yang mengukur prestasi dari salah-benar menjawab soal ujian. Entahlah.

Maka, saya cenderung mengatakan bahwa salah dan benar tidak relevan dalam memulai dan menjalankan proses kreatif mengarang. Salah dan benar akan menjadi relevan dalam proses pengemasan, dan itu dilakukan setelah proses kreatif mengarang.

Bagaimana cara mengatasi hambatan rasa takut salah? Katakan pada diri sendiri, "Saya mengarang dengan kejujuran atas apa yang saya ketahui, saya lihat, saya dengar, saya rasakan, saya pikirkan, saya renungkan, saya impikan, saya imajinasikan........ salahnya di mana?"

#4 Perasaan Takut Jelek

Sama seperti hambatan nomor 3, ini adalah faktor internal yang kuat untuk menghalangi kita mengarang, bahkan memulai mengarang. Bukan satu dua, tapi sangat-sangat sering saya membaca tulisan teman di media sosial (yang mengaku bukan pengarang), dan saya terkesima, hanyut, terpesona dan kagum. Mengapa? Karena tulisan itu lahir dihasilkan dari kemurnian atau kejujuran atas apa yang dipikirkan, diketahui, dirasakan.... dan seterusnya.

Pernah dalam satu pelatihan di sebuah sekolah di Jawa Timur, seorang anak kelas I SMP, kami minta membacakan hasil tulisan spontan-nya dalam waktu sekitar satu jam. Pelan-pelan suasana seisi ruangan yang dihadiri para peserta, para guru dan para orangtua murid menjadi sendu. Hening, senyap. Semua larut dalam haru oleh kisah kehidupannya yang nyata, dan saya cukup malu juga karena airmata saya ikut meleleh, seperti para hadirin yang lain.

Lalu, seorang temannya mendapat giliran membacakan karya. Waktu itu kami memang pilih secara instan dua peserta yang mengarang setelah pemberian materi hanya sekitar satu jam. Kebalikannya, dengan kelincahan bertutur yang mulus, peserta itu membuat seisi ruangan larut bersama letupan-letupan tawa. Lucu, menggemaskan dan mengagumkan bagusnya.

Kedua peserta itu benar-benar lepas dalam menuangkan isi pikirannya, lepas berkomunikasi, seperti berbicara, tak terbebani rasa takut tulisannya akan jelek, sehingga tidak menarik.

Bagaimana cara mengatasi perasaan takut jelek? Katakan pada diri sendiri, "Cara saya memandang sesuatu, menyerapnya, mencampurnya dengan pengalaman yang tersimpan dalam memori saya, dan cara mengekspresikannya, pasti berbeda dari orang lain, bahkan untuk objek yang sama."

#5 Semangat Menghasilkan Karya Hebat dan Cepat

Semangat yang menggebu-gebu untuk mengarang adalah satu hal. Itu bagus dan sangat bagus. Tapi semangat menggebu-gebu untuk menghasilkan karya hebat dalam waktu cepat adalah hal lain. Dalam banyak kasus, semangat seperti ini justru punya efek yang sama buruknya dengan penghambat nomor 3 dan 4, alias membuat orang tidak pernah mengarang sama sekali.

Bahkan bagi seorang penulis berpengalaman, penghambat jenis ini juga kerap muncul. Itu terjadi ketika kita kehilangan hasrat untuk menikmati setiap proses yang dibutuhkan dalam mengarang. Proses yang mengalir, satu-satu, dan tidak terburu-buru. Mengarang, seperti halnya berbicara, menjahit, menganyam, main tenis meja, main bola basket, adalah keterampilan, yang semakin sering dilakukan semakin bagus.

Terkadang sebuah ide sederhana yang tiba-tiba muncul, jika ditekuni dan dikerjakan dengan sungguh-sungguh bisa menghasilkan karangan yang sangat hebat. Namun, ide itu bisa pupus manakala kita tergoda oleh sebuah ide lain yang terasa "lebih hebat" tapi tak kunjung berbuah karena terlalu "jauh" dari kita.

Begitulah 5 hambatan terbesar dalam mengarang. Ingin tahu salah satu indikasi kuat saat kita berhasil mengalahkan kelima hambatan tersebut? Jawabannya: lupakan semua seluruh isi tulisan saya ini, dan mulai mengarang sekarang!

Mengaranglah sebelum belajar mengarang!

1 comment:

  1. Mengarang itu seperti main pingpong, semakin sering dilakukan semakin lihai...

    ReplyDelete

Adbox