Facebook

LightBlog

Breaking

LightBlog

Saturday, May 13, 2017

Panggil Saja Aku Aisy


"Sudah berapa lama, Aisy?"
"Baru satu jam."
"Oh, maafkan aku... ak..."
"Tak apa-apa, Mas. Cukup nyaman berada di ruang tunggu."
"Syukurlah. Aku tak mengira kamu bisa begitu cepat menembus kemacetan jalanan Jakarta."
"Hmm... tadinya aku mau pesan voorijder, tapi petugas busway bilang tak perlu."
"Boleh-boleh... nice try.... kamu punya peluang karier bagus untuk monolog."
"Sudah tahu." Aisyah membuka tas ransel, mengeluarkan boks file. "Ini, Mas Wawan. Semua ada di sini."
"Baik, boleh aku buka?"
"Silakan. Cover letter-nya tertuju ke Bapak Ir. Gunawan Mahardika."
"Ya. Aku baru saja baca."

Aisyah meraih gagang gelas bening di atas meja kaca. Teh manis yang tersisa sudah tidak hangat lagi. Tak ingin minum, tapi dia minum. Efek menahan dengus yang nyaris meletup. Ia mulai gelisah menebak-nebak antara Wawan jutek, jabatannya terlalu serius, atau ia sendiri yang tak pandai baca situasi dan membawa diri. Apakah lontaran-lontarannya tadi kurang pas, terlalu garing, atau....?

Tapi, kata "aku" yang digunakan Wawan, "nice try...." semua itu informal, selevel dengan bahasa dalam  WA chat mereka selama ini. OK, aku sudah di sini, sudah bertemu Program Director Ir. Gunawan Mahardika, dan sudah menyerahkan berkas yang diminta. Aisyah berhasil menenangkan pikirannya kembali.

Ia menatap sekilas muka Wawan yang masih serius memeriksa lembar-lembar print-out berkas. Lalu ia geser 15 derajat searah jarum jam pandangannya ke poster artistik berbingkai kontras dengan warna tembok di belakangnya. Gambar dua bocah berusia lima tahunan, dari wilayah timur Indonesia, dengan senyum lepas nan sangat elok. "Education for All."

Huruf-huruf dalam semboyan itu seperti berbaris merayap keluar dari kaca pigura, merambati tembok cokelat tua, terus turun ke lantai keramik putih, menjalar di kedua kakinya, naik sampai ke dada, dan mendentumkan degup keharuan. Lamunannya terbang jauh ke Samsul dan teman-teman sebayanya yang bermain di tepian Bengawan Solo.

Samsul dan teman-temannya, merekalah pembuat gara-gara ia terlibat perkenalan dan komunikasi akrab dengan Wawan sampai mengantarkannya kemari, ke Jakarta. Lucu juga, batin Aisyah, mengingat pertemuan itu.

"Dari media mana, Mbak?" itu kalimat pertanyaan pembuka Wawan, yang lebih mirip modal kosakata paspasan berbalut keraguan seorang cowok yang hendak menembak cewek.
"Aku, Aisyah, bukan wartawati, kok Mas. Cuma senang motret-motret saja. Masnya siapa?"
"Aku Wawan. Senang berkenalan dengan Mbak Aisyah."
"Panggil Aisy, saja. Aku yakin aku lebih muda, deh. Maaf, bercanda?"
"OK, Aisy."
"Sepertinya dari penampilan, Mas Wawan bukan orang sini, dan bukan orang pemerintah."
"Betul, aku tinggal di Jakarta. Acara festival budaya lokal ini, menurutku punya daya tarik istimewa dan penting."
"Ya iyalah, kalau tak menarik tak mungkin ada turis dari Jakarta, ada dari mancanegara juga, lho."
"Aku bukan turis, aku bekerja."
"Oh, pantes tadi nanya aku dari media mana. Mas Wawan wartawan?"
"Bukan."
"Hmm... sebentar, aku tebak. LSM?"
"Kurang lebih seperti itu."
"Wah, menarik ini."
"Lho, koq, menarik? Oh, ya, pertanyaan-pertanyaanmu ke sekumpulan anak-anak tadi cukup detil, bahkan terlalu detil untuk ukuran hobi fotografi."
"Aku bukan ahli fotografi juga. Lebih tepatnya, tukang jalan-jalan. Bahasa Bojonegoronya traveler, gitu, Mas."
"Hahaha....trus, buat apa?"
"Blog."
"Wow, keren juga Bojonegoro punya blogger."
"Menghina."
"Peace. Maaf. Ampun. Berarti Aisy pintar menulis juga."
"Cuma hobi aja, Mas. Tapi menyenangkan ada yang mau baca."

Seperti air Bengawan Solo yang krem dan misterius, percakapan terus mengalir sampai menjadi sebuah kesepakatan. Kesepakatan untuk menjalin hubungan istimewa, chatting lewat WA, sampai membuat Aisyah datang di depan poster itu. Poster dengan semboyan yang mengharukan hatinya. Semboyan itu sangat bagus untuk Samsul dan teman-temannya, pikir Aisyah.

"Sangat bagus. Lengkap. Very well-prepared."
Aisyah sedikit gelagapan. Tapi seketika darah serasa berdesir mengaliri segenap tubuhnya melihat senyum Wawan yang begitu otentik, asli, bukan basa-basi yang dibuat-buat, apalagi bercanda.
"Oh, terimakasih, Mas Wawan."
"Kita makan siang prasmanan di sini. Masakan rumahan orang Jakarta. Setelah itu, Hendi baru bisa mengantarmu ke penginapan untuk istirahat."
"Terimakasih, Mas."
"Seperti yang aku informasikan via WA, kita sudah jadwalkan presentasimu di depan konsorsium besok mulai pukul sembilan pagi. Akan ada Country Director kami. It's gonna be your great moment."
"Thank you, Mas Wawan."
"Yuk, ke dalam."
Aisyah menggendong tas punggungnya, ikut masuk di belakang Wawan.
"Ini Mas Hatta, tukang huruf-huruf kriting Java."
"Hallo Mas Hatta, saya Aisyah."
"Ini Mas Steve, pinter bahasa Jawa."
"Njiiih.....gkhulow thiyang yewgjo."
"Wow.... gkhulow Aisyah."

Perasaan Aisyah begitu berbunga-bunga, sehingga bukan hanya spontanitasnya yang ceria mengalir kembali saat menyalami satu per satu awak Grow2Future di ruangan itu, tapi ia benar-benar sudah lupa dengan rasa gelisah dan jengkel beberapa saat sebelumnya di ruang tamu. Tidak terasa letih lagi. Ini perjalanan yang sangat luar biasa.

"Yuk, silakan makan yang sudah siap. Teman-teman yang lain akan menyusul."

_.oOo._


Bersambung ke #2 Irama Penuh Teka-teki

No comments:

Post a Comment

Adbox